Berubah Jadi Kancrut



“Eh Mri, kok lo udah lama gak ngeblog lagi sih?”

“Hah apa lo kata barusan?” gue pura pura gak denger, padahal gue udah gelisah duluan buat cari alasan.

“Blog lo masih jalan gak sih nyet?” jawabnya nyeleneh.

“Oh blog gue, oh blognya” Gue gelagapan, kaki gue gemeter, gue pipis di celana bokap gue. “Anu, emm, laptop gue rusak, nenek gue lagi suka clubbing, bokap gue lagi hobi pole dancing” ceracau gue gak jelas.

Dia menatap gue dengan tatapan gue-tau-lo-itu-freak-tapi-gue-gak-tau-kalo-lo-idiot, lalu dia menjauh dan kemudian berkata “Sakit lo Mri”. Kampret.
                           ---
Sejujurnya gue gak berusaha buat melupakan blog ini. Gue juga gak pernah merasa bosan karena harus diem termenung di depan laptop untuk  beberapa waktu Cuma buat mbikin satu postingan yang gak lebih penting dari insiden seorang Pria yang ketauan merkosa sapi betina milik tetangganya.  Tapi gimana ya. 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu seakan belum cukup buat gue untuk menyempatkan beberapa waktu buat ngepost sebuah materi lagi.

Tapi by the way ketemu jamblay sambil melambay lambay, gue punya alasan atas kejarangan gue menulis di blog ini. Akhir akhir ini gue sedang mengerjakan draft novel gue #Azeeeek. Sampai saat ini gue udah ada draft sekitar 14 cerita. 6 Cerita besar dan sisanya cerita konyol gue dan pemikiran pemikiran gak penting gue tentang hidup. Keren ya? Apa? Biasa aja? Syiiiiit.

Jadi, biar postingan ini mirip seperti postingan blog pada umumnya, mulai kalimat ini gue akan serius. Kalo lo mau minum, minum dulu aja. Kalo lo mau mabok, nanti aja, tutupen botolmu, tutupen oplosanmu. Maaf ngelantur. Mari serius.

Gue akan membicarakan tentang berubah. Perubahan. Ubah. 

 ---

Menurut gue, perubahan dalam hidup itu sama kayak lengkoas dalam masakan rendang. Emang sih kalo kena gigit di mulut, rasanya pait trus pedes pedes ketek alay gitu. Tapi tanpa lengkoas, gue jamin, rendang masakan lo belumlah enak. Seperti itulah perubahan. Kadang pait, kadang juga gak enak, kadang malah gak ada manfaatnya. Tapi hidup haruslah berubah. Berubah adalah salah satu ciri kehidupan. Bahkan power rangers akan berubah menjadi kuat ketika membela manusia-manusia yang  lemah.

Beberapa hari yang lalu, gue sempet  singgah di sebuah warung lontong opor yang cukup terkenal di kota gue. Dulu, ketika gue sekeluarga masih sering ke pantai minimal sebulan sekali, adalah hal yang wajib untuk mengisi perut di warung lontong opor tersebut selepas pulang dari bermain pasir. Setiap kali gue dateng, gue akan memesan 2 porsi lontong opor dan satu gelas besar es teh manis. Lalu setelah selesai, bokap dan nyokaplah yang akan bayar. Betapa nikmatnya jadi anak bungsu saat itu.
Tapi bertahun tahun kemudian, ketika gue sudah bertambah besar, kakak gue sudah menginjak bangku SMP, kita udah jarang pergi bareng bareng ke pantai. Bokap sibuk dengan peliharaannya di rumah, Nyokap sibuk dengan kegiatannya, dan gue sibuk untuk males malesan. Kita masih sempet menyambangi warung tersebut, tapi biasanya kita Cuma ngebungkus lontong opor dan baru dimakan ketika sampai dirumah. Frekuensi kita makan di warung tersebut sedikit demi sedikit berkurang. Dan akhirnya kita semua mulai beralih ke lontong opor grobakan yang bakalan lewat di depan rumah setiap minggu. Rasanya jelas beda, sudut potong bawang gorengnya juga beda, bahkan bau ketek yang jual pun beda (ini apasih). Lidah gue berangsur angsur melupakan rasa khas warung itu. Perlahan lahan, layaknya substitusi, selera lontong opor gue beralih dari kelas warung menjadi kelas grobakan.

Bertahun tahun gue udah gak pernah makan lontong opor kesukaan gue dulu. Hingga beberapa waktu lalu, gue akhirnya mendapatkan kesempatan nostalgia dengan ibu ibu penjual lontong opor itu. Waktu itu gue sedang galau sambil jalan jalan pagi hari. Angin sepoi sepoi meniup niup melewati telinga dan leher gue. Saat itu gue sudah berputar putar mencari tempat yang enak untuk sarapan. Hingga 15 menit gue belum juga menemukan tempat yang cocok. Entah kenapa motor gue berhenti di depan sebuah warung lontong opor. Lalu gue melihat ke spanduk yang tertera di depan warung tersebut.Nama yang gue pernah kenal. Ingatan gue seketika kembali ke jaman SD dulu, ketika dengan baju dan muka yang penuh pasir berlarian di dalam warung tersebut. Lalu otak gue seperti dalam keadaan auto pilot, karena tanpa sadar gue sudah terduduk di kursi warung tersebut dengan semangkuk lontong opor di meja. Gue melihat sekeliling, gue mencoba mencocokkan ingatan gue dengan keadaan warung yang saat ini terhampar di depan mata gue. Ruangannya sudah bertambah besar beberapa kali lipat, kursi kursinya sudah bukan kursi plastik yang akan berdecit ketika gue duduk diatasnya, di tembok temboknya sudah terpasang beberapa kalender baru, menyingkirkan kalender khas warung warung yang bersampulkan pesinetron wanita yang baru naik daun. Gue mengalihkan pandangan menuju bagian dapur. Yang berdiri di depan alat masaknya bukan lagi wanita tua dengan senyum ramah yang bahkan akan tersenyum bahagia ketika melihat seekor siluman babi rusa (gue) yang mengacak acak lontong opor yang sudah susah payah dibuatnya. Sosoknya tergantikan oleh wanita muda yang berdiri dengan kening berkerut dan seorang pria dengan garis muka yang seakan akan sudah bosan dengan rutinitas hidupnya. Banyak yang berubah dengan warung ini. Gue berspekulasi bahwa kedua orang tersebut adalah anak dan menantunya yang secara hierarki akan mendapat kekuasaan warung ini setelah wanita tersebut semakin udzur. Lelah berpikir keras, gue mulai konsentrasi terhadap sebuah mangkok berisi makanan yang sedari tadi gue tak acuhkan. Gue mulai menyendok sedikit demi sedikit. Ada rasa baru yang hadir dalam lidah gue. Tapi bukan rasa yang gue rindukan dari waktu yang sangat lama tentang kuah opor ini. Bukan bayangan wanita tua ramah yang ada dalam benak gue. Namun sosok wanita berkening kerut yang muncul. Rasanya masih tetap lezat. Namun ada yang berbeda. Gue gak merasakan nostalgia dengan kenangan gue tentang warung tersebut. Gue menyendok sedikit demi sedikit, dengan harapan kenangan itu akan muncul entah di sendok ke berapa. Tapi gue kecewa, hingga sendok terakhir masuk ke kerongkongan gue. Hingga tetes terakhir es teh manis yang gue minum, hingga gue melangkahkan kaki menuju motor gue di luar, gue masih tak menemukan nostalgia itu. Hari itu gue belajar, bahwa perubahan telah merenggut rasa opor yang nikmat dari memori gue.




Komentar

Posting Komentar