Dari Orang yang Pernah Jatuh Cinta



Mungkin inilah alasan kenapa “Jatuh Cinta” disebut “Jatuh Hati”. Orang orang jatuh dalam sebuah kubangan bernama cinta, menikmati perasaan semu yang sangat kuat yang sedang melandanya. Namun tak jarang, yang terjadi malah sebaliknya. Yang terjadi justru adalah sebuah ironi. Mereka tenggelam dan akhirnya kehilangan hatinya pada suatu titik yang tak bisa ditolerir oleh hati. Hatipun jatuh. Seperti barang barang lainnya yang akan pecah dan hancur berantakan ketika menyentuh tanah. Serpihannya pun terlalu kecil dan banyak, dan tak mungkin lagi dapat disatukan. Hingga angin dan air menyapunya pergi. Hilang begitu saja. To the point, hati gue pun mengalaminya. Jatuh sampe gak pernah bisa jadi utuh seperti sedia kala

Banyak dosa yang gue lakukan selama gue jatuh cinta pada lo. Dosa yang gak akan berguna walaupun gue ungkapkan secara membabi buta kepada lo. Karena memang pengakuan dosa itu sudah tak lagi diperlukan. Mungkin itu akan mengubah, tapi yang gue yakini, hal itu gak akan mengubah apa yang telah terjadi saat ini. Kecuali lo akhirnya sadar tentang keberadaan gue dan kita akhirnya bisa saling sapa seperti sedia kala. Seperti dulu kala. Seperti sebelumnya. Sebelum lo tau gue sudah jatuh hati pada lo.

Mungkin lo berpikir kalo gue cemen, Cuma bisa ngegalau tiap malam tanpa jelas. Cuma bisa menceracau di twitter, di blog, atau bahkan lewat tulisan tulisan kecil gue di personal message gue di BBM. Tapi berhentilah menghakimi gue untuk saat ini. Lo juga turun andil dalam ke-diam-an gue. Sikap lo yang acuh tak acuh pada semua perhatian yang sengaja gue curahkan ke elo membuat gue berpikir, apakah lo bener bener suka sama gue. Atau jika dibalik, sikap lo yang acuh tak acuh membuat gue menjauh dari lo. Sori, bukan menjauh. Gue salah kalimat. Gue mencoba menjauh dari lo.

Namun seperti jatuh hati pada umumnya, logika gue tertutup oleh rasa cinta berlebihan dan buta gue kepada elo. Sebelum logika gue tertutup, gue yakin bahwa ketika lo sudah tak dianggap lagi bahkan sebagai teman sekalipun, hal yang lo lakukan adalah satu hal simple. Menjauh. Atau paling mudah sekedar memberi jarak. Tapi itu pun sulit gue lakukan. Ibarat langkah, badan gue memang menjauh dari lo. Tapi enggak dengan hati gue. Hati gue gak melakukan gerakan sinkron dengan tubuh gue. Hati gue gak mengamini tindakan gue. Menjauh dari lo ibarat melangkah di atas silet yang teracung keatas. Siap melukai kaki dan badan gue ketika gue melangkah diatasnya. Tambah lagi dengan anjing herder yang mengejar di belakang gue. Lalu di belakangnya lagi ada penjual warung yang mengejar gue sambil mengacungkan tagihan utang gue selama 2 bulan belakangan. Sori, kebanyakan ngegalau imajinasi gue jadi ikutan gak jelas. Nah, bahkan karena lo, gue gak bisa galau dengan normal. Gila gak tuh. Balik lagi ke masalah silet, mau gak mau gue harus melangkah melewatinya. Melewati ribuan silet itu gara gara lo. Sampai disini lo bisa bayangin sakit gue gak? Bisa kan?

Namun baru beberapa langkah gue berjalan, lo hadir di antara anjing herder dan penjual warung. Memanggil manggil nama gue dengan penuh harap. Memandang gue dengan tatapan yang gak pernah bisa gue definisikan hingga saat ini. Dengan kaki yang penuh dengan goresan luka, dengan lengan dan badan yang penuh cucuran darah, gue berbalik. Lo tau gak balik ke awal lagi, melewati anjing herder rabies yang kalo anjing itu ngegigit gue, gue bisa ejakulasi gak beraturan selama 2 jam, melewati puluhan tagihan jajan yang menguras duit gue hingga ke akar akarnya itu adalah hal yang JAUH lebih berat dibanding saat awal gue memutuskan untuk menjauh dari lo? Lo gak tau? Oh syukur. Berarti lo masih seperti orang yang dulu gue kenal. Yang masih acuh tak acuh terhadap gue. Selamat, elo lulus.

Gue berbalik. Kembali menuju orang yang dulu selalu gue sebut dalam doa. Yang gue khawatirin setelah bokap-nyokap gue ketika terjadi sesuatu (well kakak gue udah gede, jadi gue gak terlalu mikirin dia). Kembali menuju orang yang selalu gue perhatiin setiap malam, walaupun gue tau balesan chatnya hanya sekadar “Y” atau bahkan “Oh”. Gue melangkahkan kaki lemah gue menuju lo. Gue takut lo kenapa napa. Gue Cuma ingin memastikan lo gak kenapa napa.

Namun kali ini yang terjadi kembali diluar pengharapan gue. Kali ini bayangan lo menjauh hingga hilang dari pandangan gue. Gue mencari cari bayangan lo di sudut sudut pikiran gue. Di sudut sudut alam bawah sadar gue, berharap lo bersembunyi di sana. Dan berharap gue akan berteriak dengan girang ketika gue melihat lo, “Ketemu”, lalu gue akan memandang lo selama yang gue bisa, dan berkata bahwa adalah hal yang salah karena pernah mencoba meninggalkan elo. Gue mau minta maaf atas ketololan gue meninggalkan lo. Gue mau ada disamping lo. Jadi tas punggung lo juga gak apa apa deh. Asal gue bisa deket sama lo. Namun itu gak terjadi. Itu adalah mimpi yang sampai saat gue menulis ini belum kesampaian. Atau bahkan mungkin, very sad to say, gak akan pernah kesampaian.

Lo melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Memaksa gue untuk menjauh lagi dari lo.

Entah ribuan atau jutaan detik kemudian, gue masih tetap disini. Bukan gue setia sama lo. Tapi gue gak bisa pergi. Kaki gue sudah terlanjur terluka. Hati gue masih hilang entah kemana. Mungkin sudah pecah di salah satu galaksi di ujung semesta sana. Gue gak tau. Yang jelas gue tetap disini. Di tempat dimana semua bermula. Di tempat yang akan lo ingat kalo lo masih bisa memikirkan gue. Di tempat gue meratap dalam tangis dan harap. Lo pasti tau gue dimana. Cuma lo yang gue ijinkan tahu. Selain Tuhan tentu saja.

Mungkin lo berpikir gue cengeng, gue lemah, gue naïf. Tapi inilah kenyataannya. Sama seperti kenyataan bahwa tak pernah ada orang yang ingin dilahirkan dengan cacat. Gue pun juga gak berharap atau bahkan bermimpi bahwa suatu saat semua akan menjadi seperti ini. Gue gak mengerti harus berbuat apa. Yang saat ini gue lakukan adalah mencoba sedikit membuka pada semua bahwa gue terluka. Gue terluka karena lo. Ngerti gak sih?

Gue mencoba untuk jatuh cinta lagi pada orang selain elo. Tapi, jatuh hati adalah hal yang gak mungkin terjadi sama gue. Hati gue masih di lo kampret. Bukan, maksud gue hati gue bahkan bukan milik gue lagi. Lagipula sulit untuk jatuh hati ketika hati lo bahkan udah gak tau ada dimana. Sama seperti lo beli pulsa namun lo gak punya hape. Nah lho, mau buat apa coba pulsanya? Mau buat emak lo? Ya silahkan aja sih.

Gue mencoba hal lain selain jatuh hati dengan orang lain. Gue berpura pura gak kenal sama lo. Tapi itu lebih sulit lagi mbakbro. Ibarat kate nih ye, lo ngefans abis sama Melody JKT 48, trus tiba tiba dia ngajakin handshake sama elo, masa lo masih sok cool sambil jawab “Maaf, anda siapa ya?. Maaf kita bukan muhrim.” Kan gak mungkin bro. By the way kalo Melody beneran ngajakin gue handshake gue ngapain dulu ya? Mimisan dulu kali.

Balik ke intinya.

Apa yang gue harus lakukan sama perasaan gue? Gue gak punya bantuan apa apa. Phone a friend? 50:50?Ask the audience? Eh lo kata ini kuis Who Wants To Be A Millionaire gitu? Ya gue gak punya lah. Satu orang yang gue bisa tanyain ya Cuma elo. Yang gue mau tanyain juga Cuma elo. Pokoknya elo deh. Gak ada orang lain lagi. Tanya Mamah Dedeh? Endingnya gue malah digampar pake kerudung kali.

Terakhir, gue gak bisa bilang apa apa. Semoga lo bahagia disana. Semoga orang itu bisa bikin lo bahagia. Gue masih ngarep sih kalo orang itu adalah gue. Tapi udah gak deeng. Eh masih deeng. Eh kok jadi gaje gini?

Terakhir kedua, waktu itu sebenernya gue sedang menunggu sesuatu. Menunggu komet Sozin melintas. Oh lo gak tau ya? Gue kan Avatar Aang. Bercanda bego. Gue sedang menunggu batalnya janji gue dengan seseorang. Lo gak harus tau siapa orang itu. Lo juga gak perlu tau isi janji gue dengan orang itu. Intinya gue gak bisa nembak lo. Tapi ketika janji itu purna, lo malah asik ngegandeng orang lain. Gak apa apa kok. Gue masih bisa ngegandeng truk semen. Percaya deh. Cuma lebih berat dikit dibanding elo kok.

Terakhir ketiga, mungkin cukup sekian pengakuan gue. Gue gak berharap apa apa. Gue sih ngarepnya Miyabi dateng ke Cilacap buat ngajakin gue manggung, tapi itu ga akan kejadian kan ya. Jadi yang realistis, gue berharap, di masa depan, lo gak akan bersikap acuh tak acuh lagi pada orang lain. Cukup gue yang elo cuekkin. Gak apa apa kok. Gue sehat, gue kan selalu diberi Asi, dan imunisasi. Pokoknya gak usah pikirin gue. Eh boleh deh pikirin gue sesekali. Tapi jangan keseringan yaa, takut lo jadi murtad.

Terakhir keempat. Inilah ending sesungguhnya. Setelah gue berpura pura tegar dengan menulis berbagai kalimat konyol dan gak mutu. Dengan kekuatan bulan gue mengaku.

Gue masih suka sama lo.

Gue berharap lo suka sama gue.

Gue sayang sama lo.

Gue berharap lo sayang sama gue.

Gue cinta sama lo.

Gue berharap lo cinta sama gue.

Dan harapan gue yang terakhir, semoga itu jadi kenyataan.

Komentar

Posting Komentar